Kamis, 03 Juni 2010
Jodoh
Sejuknya hawa perbukitan, panorama dua gunung yang saling berhadapan, jalan raya di depan kampungku, toko-toko keripik dan kerupuk yang berjajar di tepi jalan, gapura putih di muka kampungku, semua tampak sama. Hanya bedanya barangkali, mobil-mobil di jalan jadi lebih banyak. Seolah-olah semua orang pulang kampung secara bersamaan. Aku melangkah masuk ke jalan kampungku. Orang mencuci pakaian di tabek, orang buang air di tandai, orang menjemur gabah di jalan kampung yang tak seberapa lebar, sungguh pemandangan yang lama tak kujumpai. Perlahan kulayangkan ingatanku kepada masa-masa terdahulu, waktu bersuka ria bermain bersama kawan-kawan sebaya yang kini telah entah di mana adanya.
Lamunanku dibuyarkan oleh tepukan seseorang di pundakku. Kupalingkan wajahku ke belakang. Tampaklah seorang wanita usia empat puluhan awal, yang kukenali sebagai Tek Sima, penjual ketupat sayur yang dagangannya menjadi sarapanku selama bertahun-tahun di sini. Kukira ia baru saja datang dari pasar.
“Hai Jang!” serunya. “Benar ini si Ujang kan?”
Aku tersenyum. Sudah lama benar aku tidak mendengar panggilan itu. Orang-orang kampung sini biasa memanggilku si Ujang saja, tanpa peduli nama benarku bukanlah itu. “Iya benar, Tek,” jawabku.
“Kapan tiba, Jang? Sudah lama benar tidak jumpa.”
“Baru saja.”
“Oh begitu. Singgahlah sebentar, Jang.”
“Biarlah, Tek. Saya lihat rumah dulu.”
Kutinggalkan Tek Sima, kupercepat langkahku menuju rumah orang tuaku. Nanti-nanti sajalah aku berkunjung ke rumahnya, toh rumahnya dekat saja dengan rumah orang tuaku.
*
Di rumah, kujumpai ibuku tengah memasak. Ibu selalu sibuk memasak, seolah tiada habisnya yang dimasaknya itu. Bapak sedang mengurus bengkel angkotnya yang terletak sedikit di luar batas kota. Mereka tinggal berdua saja di rumah ini. Kakakku yang perempuan sudah menikah dan kini bekerja di luar kota. Adikku yang lelaki sedang kuliah di Jawa pula. Keduanya tahun ini tidak ada yang pulang, karena sibuk oleh urusan masing-masing. Memang begitulah kalau orang sudah merantau.
Sore harinya, Tek Sima bertandang ke rumahku. Banyak benar ceritanya, mulai dari usaha bengkel suaminya yang merugi, soal sawahnya yang hendak dijual karena dipandang tidak menguntungkan, soal beratnya biaya hidup, dan sebagainya. Dibawanya serta anak-anaknya, ada lima orang rupanya. Semuanya lebih muda daripadaku. Yang tertua laki-laki, Deni namanya, kini kerja serabutan di mana-mana sekaligus mengurusi sawah di kampung. Adiknya perempuan, Feli namanya, kini masih kelas dua SMA. Ada lagi adiknya tiga orang, masih SMP, SD, dan yang bungsu belum lagi sekolah. Seingatku saat aku berangkat ke rantau, anak Tek Sima ini baru tiga orang. Rupanya beranak pinak saja kerja orang ini, pikirku.
Besok malamnya, kami sekeluarga diundang makan di rumah Tek Sima. Besok malamnya lagi, kami makan di tempat tetangga atau keluarga yang lain lagi. Memang begitulah yang telah menjadi kebiasaan di kami. Dalam tiap-tiap kunjungan, selalu saja orang-orang menanyakan di manakah gerangan istriku, tidakkah dibawa serta ke kampung. Kukatakan terus terang bahwa istriku belum lagi ada. Orang-orang menggelengkan kepala. Mungkin merasa aneh jika orang seusiaku belum beristri pula.
Sekali waktu saat di rumah, Ibu bertanya kepadaku. “Jang, apa kerja Ujang kini?”
“Konsultan, Bu,” jawabku singkat.
“Apa itu?”
“Ya konsultan. Orang yang memberikan konsultasi, nasihat, memecahkan masalah orang. Tapi khusus di bidang teknik.”
“Terserahmu lah. Tapi sudah dirasa mantap benar dengan pekerjaanmu itu?”
“Ya sementara begitulah, Bu.”
“Ah kalau begitu cari-carilah calon istri, Jang. Sudah patut pula, Jang. Atau sudah ada?”
“Belum lagi.”
“Ah masa belum lagi? Tak mungkin itu. Ibu tahu benar kau pasti sudah ada. Iya, Jang?”
“Secara resmi belum ada, Bu.”
“Iyalah, resmi itu nanti kalau kalian sudah kawin. Maksud Ibu calon. Masa tidak ada?”
“Calon sih ada. Tapi entah apa pihak sana juga menganggap saya sebagai calonnya.”
“Oih, macam-macam saja kamu ini. Siapa Jang, orang mana?”
Didesak terus, aku terpaksa buka mulut. Padahal tadinya sama sekali tak ada niat untuk bercerita soal-soal begini kepada Ibu apalagi Bapak. “Ada lah, Bu. Jangan bilang ke siapa-siapa dulu. Orang kita juga. Tapi dari daerah Anu,” kataku sambil menyebut nama suatu tempat sekitar 40 kilometer dari kampungku.
“Oh begitu! Cepat-cepatlah kamu resmikan kalau begitu, supaya agak berhenti sedikit nyinyir mulut orang-orang bertanya ke Ibu tentangmu itu.”
“Sedang diusahakan, Bu. Tapi lihat nanti-nanti saja lah,” jawabku sekenanya.
“Kamu ini dari dulu selalu begitu,” timpal Ibu sambil tersenyum. “Jang, Tek Sima sudah bertanya-tanya tuh, kalau sekiranya Ujang belum bercalon, mau pula dia menjodohkanmu dengan anaknya.”
“Siapa? Si Feli?”
“Si Feli,” Ibu mengiyakan.
Ini sudah kuduga. Aku sudah membaca baik dari tutur kata dan sindir Tek Sima saat berkunjung ke rumah, maupun saat kami sekeluarga yang datang ke rumahnya. Keluarga kami memang berkawan dekat sejak dulu dengan keluarga Tek Sima, dan masih ada pertalian saudara pula dengan ayahku. Si Feli bukannya tidak cantik, tapi bukan itu semata pertimbanganku. Yang lebih utama adalah, anak itu lulus SMA pun belum, tak ada pula tanda-tanda bakal melanjutkan ke bangku kuliah setelah lulus nanti, tahu apa dia tentang asam garam kehidupan. Lagipula masih ada calon yang kuceritakan pada Ibu tadi.
“Tak usah terlampau dipikirkan, Jang,” Ibu seolah dapat membaca pikirku. “Itu kan hanya buah bibir orang kampung belaka. Tentukan sendiri mana yang baik bagi Ujang.”
Perkataan Ibu sedikit menenangkan hatiku. Tak pernah lagi kupikirkan perkara tersebut, sampai pada malam terakhir sebelum aku bertolak kembali ke rantau, di mana Bapak dan aku sedang menonton televisi yang hanya mampu menampilkan tiga saluran, karena rusaknya antena parabola di rumah kami.
Setelah berbincang ke sana kemari, tiba-tiba Bapak berkata, “Jang, coba dengarkan Bapak agak sebentar. Jarang-jarang benar ‘kan Bapak memberi nasihat.”
“Apa itu Pak?” tanyaku agak heran.
“Tentang jodoh. Pasangan hidup.”
Aku langsung menyempurnakan sikap dudukku.
"Sudah waktunya kamu mulai mencari. Bapak tahu kamu lama tinggal di rantau. Bapak tidak bisa mengatur-atur. Siapa pun pilihanmu, Bapak terima saja. Asalkan seiman. Suku bangsa pun boleh apa saja, terserah.”
“Tapi ada tapinya, sedikit saja kalau boleh,” lanjut Bapak. “Kalaupun kamu tertarik dengan gadis dari daerah kita pula, carilah yang kampungnya dekat-dekat kampung kita. Semakin dekat sini semakin bagus. Jangan cari orang daerah Anu.”
Aku terkesiap. “Memangnya kenapa Pak?”
“Jangan. Perilakunya banyak yang kurang baik. Bapak tahu beberapa orang asal sana yang tindak tanduknya kurang baik. Sebaiknya janganlah.”
Sebenarnya aku ingin protes. Bapak terlalu menggeneralisir, menyamarata-kan semua orang. Padahal itu hanya stereotip yang belum tentu tepat. Tapi aku diam saja, aku sedang tak ingin berdebat. Sampai meninggalkan kampung keesokan harinya, aku tak lagi mempertanyakannya, pun Ibu dan Bapak tidak menyinggung lagi soal tersebut. Tapi kukira, dan aku hampir yakin, Ibu telah bercerita kepada Bapak tentang hal ihwal calonku yang orang Anu itu.
*
Tak lama berselang, aku telah berpindah kerja ke perusahaan lain yang lebih besar. Aku semakin sibuk, pekerjaan semakin banyak. Acapkali harus berdinas ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai beberapa kali harus ke luar negeri. Karena itu pula bagiku begitu sulit menemukan waktu untuk kembali pulang kampung. Memang begitulah adanya, waktu adalah uang, tapi uang tak selalu bisa membeli waktu. Sampai pada tahun ketiga sejak kepulanganku yang terakhir, akhirnya aku dapat pulang beberapa hari menjelang hari raya, sampai kira-kira sepekan sesudahnya.
Setibanya di kampung, orang pertama yang kutemui di jalan adalah, secara kebetulan, si Feli. Tampak di mataku bahwa gadis ini semakin cantik dan menarik, juga lebih dewasa.
Basa-basi aku bertanya, “Ke mana, Fel?”
“Ke pasar, Da,” jawabnya singkat.
“Oo. Di mana kerja Feli sekarang?”
“Sedang kuliah, Da,” jawabnya sambil menyebutkan nama suatu universitas negeri di propinsi kami.
“Baguslah itu,” timpalku sambil mengangguk-angguk. Aku senang jika anak-anak muda di kampungku ini berpikiran maju, berkegiatan yang produktif, supaya ikut maju pulalah seisi kampung ini.
Aku meneruskan jalan ke arah rumahku. Sambil berjalan, mulailah aku berpikir ke mana-mana. Si Feli makin cantik kini, sudah berkuliah pula. Kalau tiga tahun lalu dia masih kelas dua SMA, berarti sekarang umurnya kira-kira dua puluh. Sudah mulai dewasa, pikirku. Aku sendiri belum juga beristri, alasan yang paling sering kukemukakan ialah sibuknya pekerjaanku kini. Entah apakah orang-orang rumahku bisa percaya dengan alasan semacam itu. Selama di rantau tiga tahun terakhir, sedikit sekali, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali, waktuku untuk memikirkan hal-hal jodoh itu. Tapi pulang ke kampung dalam keadaan belum beristri pula, mau tak mau mengingatkanku kembali. Sudah waktunya, kata Ibu dan Bapak tiga tahun silam. Saat ini, kataku pun demikian. Dan kalau masih boleh, hendak kupenuhi keinginan Tek Sima dulu. Supaya hangat hatinya, hati Ibu dan Bapak, hatiku juga.
Esoknya, selepas sahur, ketika Bapak sedang ke belakang, tinggallah aku berdua dengan Ibu di meja makan. Ibu lekas bertanya, ”Jang, kamu masih sendiri juga. Memang ke mana calonmu yang orang Anu itu?”
Aku tersenyum kecut. “Lupakanlah, Bu. Dia sudah kawin pula dengan orang lain.”
“Oh ya? Kok bisa? Dengan siapa pula? Kenapa tidak denganmu?”
“Bisa saja. Dengan kawan sekantornya. Mungkin kami memang tidak jodoh.”
“Ah masa? Kamu saja mungkin yang kurang pandai mengambil hatinya.”
“Mungkin,” jawabku. “Saya tiba di waktu yang tak tepat, Bu. Saya terlambat untuk mulai mengenali pribadinya lebih jauh, tapi terlalu pagi untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Dan ketika waktu yang tepat telah tiba, saya tidak ada di sana. Saya gagal. Itulah, barangkali kami tak sejodoh.”
Ibu mau menimpali lagi, tapi azan subuh telah berkumandang. Aku bergegas mengambil air wudhu, kemudian pergi ke surau. Di surau aku bertemu dengan Deni, anak Tek Sima yang sulung. Selepas sembahyang subuh, kuajak ia mengobrol di pelataran surau.
Setelah berbasa-basi, kutanyakan juga padanya, “Dengar-dengar si Feli kini kuliah?”
“Iya, Da. Di Fakultas Sastra,” jelas Deni membenarkan pernyataan adiknya padaku kemarin.
“Baguslah. Anak gadis harus pula sekolah tinggi-tinggi, jangan cepat-cepat dikawinkan saja. Supaya maju pemikiran kita.”
“Loh, Uda belum tahu rupanya?” Deni agak terkejut.
Aku balik terkejut. “Tahu apa?”
“Si Feli sudah kawin pula.”
“Ha? Masa? Dengan siapa?”
“Dengan Rafli, anaknya Tuan Gafur.” Disebutnya nama salah seorang kerabat kami yang kaya raya. Setahuku kerabatku ini tidak tinggal di kampung kami, melainkan di kota. Dan si Rafli ini, tak jelas pula pekerjaannya.
“Kenapa begitu, Den?” aku masih terbengong-bengong.
“Itulah, Da. Kerja saya tak seberapa, bengkel Papa kini telah tutup juga. Adik-adik semuanya perlu sekolah. Sementara itu Mama perlu modal pembuka kios di pasar. Kami banyak utang, utamanya ke Tuan Gafur.”
“Hah? Jadi..?”
“Yah, sawah Mama dijual ke Tuan Gafur. Dan si Feli... si Feli dinikahkan dengan anaknya,” tutur si Deni dengan pelan.
“Lantas... kuliahnya?”
“Justru kuliahnya itu dibayari oleh Tuan Gafur. Begitu pula uang sekolah adik-adik. Sekarang Feli sudah hamil tiga bulan.”
Aku terdiam. Habis sudah semua kata-kata. Sepenuhnya benar bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan! *
---
Puisi Putih
Kau dan aku tak satupun yang tau…..
Tahunpun berikan jawaban yang semu…..
Kau dan aku tak satupun yang tau…..
Jadi tak selalu simpulanmu itu
Sesungguhnya manusia hanya manusia….
Saling mengerti adalah kunci segalanya…..
Tepat seperti yang kukira….
Terombang-ambing kau ditelan waktu…..
Sembelih perasaan bukan jawaban…..
Rasakan energi tenangkan jiwamu…..
Jika wajahku ini hatiku….
Tak mungkin sanggup kau tahan malumu….
Tak mungkin sanggup kau tahan harumu….
Dan tak mungkin sanggup kau mengimbanginya….
Karma kau tau begitu cintanya aku….
Aku mencintaimu dengan sederhana….
Seperti cinta api pada kayu….
Yang tak sempat terungkapkan….
Karma menjadikannya abu….
Tutup matamu….
Bisukan bibirmu….
Tanya pada hati kecilmu….
Adakah cinta sejati untukku….
Jika ada….
Tersenyumlah bidadariku…..
By: SULTAN
recha_insane

Tidak ada komentar:
Posting Komentar