Kamis, 03 Juni 2010
MEMAHAMI WACANA LISAN DAN TULIS
Alwi, dkk. (1998:419) mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk kesatuan. Kridalaksana (2001:231) menyatakan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana menurut Kridalaksana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (misal novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sebuah wacana melebihi sebuah kalimat. Hal ini sesuai dengan pengertian bahasa secara sederhana, yakni “alat komunikasi”. Sebagai alat komunikasi, bahasa tentunya tidak diucapkan satu kalimat, tetapi penyampaian gagasan, pikiran, perasaan tersebut dapat berupa kalimat berangkai. Selain itu, analisis terhadap wacana dimaksudkan untuk menginterpretasi makna sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran. Konteks meliputi konteks linguistik dan konteks etnografii. Konteks linguistik berupa rangkaian kata-kata yang mendahului atau yang mengikuti sedangkan konteks etnografi berbentuk serangkaian ciri faktor etnografi yang melingkupinya, misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa. Inilah yang dimaksudkan dengan wacana dari definisi di atas.
Para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga sepakat memberikan batasan wacana sebagai berikut.
“komunikasi verbal; percakapan; keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah; kemampuan atau prosedur berpikir sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; pertukaran ide secara verbal” (KBBI, 2005:1265).
Batasa tersebut semakin menjelaskan bahwa analisis atau kajian wacana sangat luas, dapat terjadi dalam bentuk tuturan dan tulisan, ia digunakan dalam komunikasi sebagai salah satu interaksi kebahasaan. Dengan kata lain, wacana dapat dikatakan sebagai satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Karena itu, wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional.
Oleh karena komunikasi tersebut dapat terjadi dalam bentuk lebih dari satu kalimat, Alwi dkk. (1998:419) menyatakan bahwa pembicaraan tentang wacana memerlukan pengetahuan tentang kalimat dan segala hal yang ada hubungannya dengan kalimat. Namun demikian, yang menjadi persoalan kemudian adalah kalimat yang dipakai tersebut apakah sama saat diujarkan dengan dituliskan?
Sebagai contoh, interaksi memberi salam dan menjawab salam bagi dua orang apalagi antara tuan rumah dan tamu adalah sebuah keniscayaan. Namun, apakah sama memberi salam antara tamu dan tuan rumah tersebut dengan salam antara khatib (tukang ceramah) dengan audiens, antara dua orang sesama muslim yang berpapasan di jalan, atau antara anak dan orangtua saat akan berpamitan?
Jawaban salam dari tuan rumah kepada tamu sendiri tentunya masih mengalami perbedaan antara tuan rumah yang sudah melihat tamunya di depan (serambi) rumah dengan tuan rumah yang masih berada di dalam rumah (mungkin di dapur. Perbedaan tersebut terletak pada intonasi, situasi, tempat, dan waktu. Lantas, bagaimanakah kalimat atau ungkapan salam tersebut dilahirkan dalam wujud tulisan? Hal-hal seperti inilah yang menjadi pemikiran pentingnya menganalisis wacana dari segi lisan dan tulis, karena para ahli telah sepakat bahwa untuk menyampaikan ide atau perasaan sekecil apa pun, dapat dilakukan dengan lisan dan tulis.
Pertanyaan berikutnya yang menjadi landasan pemikiran meninjau tentang pemahaman wacana adalah mana yang lebih mudah dipahami; wacana lisan atau wacana tulis. Lantas bagaimana peran dan ciri-ciri kedua jenis wacana tersebut. Patut diingat pula bahwa jenis-jenis wacana masih dapat dibagi lagi. Namun, induk pembagian jenis wacana tetaplah lisan dan tulis. Dari dua pembagian ini kemudian dirincikan lagi jenis-jenis wacana lainnya. Adapun pembahasan dalam tulisan ini sekedar mencoba memberikan pemahaman tentang wacana lisan dan wacana tulis.
Wacana Lisan dan Wacana Tulis
Pemahaman wacana lisan jauh lebih banyak daripada sekedar mengawakode simbol-simbol yang tertera pada halaman tulisan. Hal itu menyangkut pengakuan akan apa yang sudah diketahui dan pengintegrasian yang baru ke dalam dasar pengetahuan yang sudah ada pada seseorang. Hal ini disebabkan dalam membaca kita membawa sejumlah besar informasi ke dalam teks dan mengambil sejumlah besar kesimpulan berdasarkan pengetahuan dasar atau pengetahuan skematis. Jika pengetahuan skematis tidak ada atau cacat, pemahaman akan terhalang. Hal ini sudah ditunjukkan oleh Steffensen (1981) yang dikutip kembali oleh Silangen (1992:67). Ia mengatakan:
1. tidak ada situasi yang umum, “situasi” (atau kerangka acuan) yang dikehendaki ada di dalam teks dan harus disimpulkan dari teks.
2. kata-kata berdiri sendiri. Mereka tidak ditopang oleh perilaku nonverbal (yang kita sebut peniruan) dan perilaku jamahan atau pernyataan verbal.
3. tak ada kesempatan untuk umpan balik kepada sumber. Jika asumsi penulis mengenai keadaan “w” dibesar-besarkan, tergantung pada pembacalah untuk menutup celahnya dengan cara sendiri.
4. membaca adalah monoton, tidak terputus-putus. Kurang kesempatan bagi pembaca untuk memberi respon yang terbuka. Jika ia memberikan respon yang terbuka (tertawa atau menuliskan catatan dan sebagainya), tulisan itu langsung diperkuat. Penulis tidak tahu apa tentang respon terbuka itu.
5. pengeditan teks dapat menghalangi pemahaman. Kesalahan dan hentian dalam bahasa lisan justru sesuai dengan titik-titik kemacetan dalam gerakan pikiran pembaca. Mereka mengisyaratkan kesulitan dan menyediakan waktu mengatasinya, baik pendengar maupun pembaca.
6. karena teks lebih lengkap daripada ujaran, teks cenderung lebih padat. Bagi pembaca yang belum dewasa teks juga tidak dikenal dalam hal pemilihan kata dan gaya. Bahasa adalah miliknya, gaya adalah asing.
7. penulis mengurutkan bahannya. Akan tetapi, urutan yang menurutnya terbaik mungkin bukan yang terbaik bagi pembaca tertentu.
Pengembangan Keterampilan Wacana
Keterampilan yang dimaksudkan dalam bagian ini secara khusus dihubungkan dengan pandangan teoretis, yaitu yang diperoleh dari aspek linguistik dan psikolinguistik pemrosesan.
Dalam pembelajaran, seharusnya di akhir proses pembelajaran, siswa mampu memanfaatkan pengetahuan dasar yang mereka miliki untuk memberikan orientasi pada tugas bacaan. Siswa diharapkan mampu menyusun gagasan tentang topik ke dalam hierarki konseptual. Kegiatan membaca seperti itu untuk mendorong para pembelajar mengemukakan informasi yang mereka miliki, membantu pembaca untuk memahami teks mengenai bahan yang diberikan.
Keterampilan lain yang bermanfaat dalam memahami wacana adalah kemampuan membaca cepat sebuah teks dan menghasilkan suatu garis besar struktur teks. Hal ini memberikan gambaran ikhtisar “atas-bawah” atau peta konseptual yang akan dipelajari oleh pembelajar secara rinci.
Ada berbagai relasi antarelemen dalam wacana. (1) Relasi koordinatif adalah relasi antarelemen yang memiliki kedudukan setara. (2) Relasi subordinatif adalah relasi antarelemen yang kedudukannya tidak setara. Dalam relasi subordinatif itu terdapat atasan dan elemen bawahan. (3) Relasi atribut adalah relasi antara elemen inti dengan atribut. Relasi atribut berkaitan dengan relasi subordinatif karena relasi atribut juga berarti relasi antara elemen atasan dengan elemen bawahan. (4) Relasi komplementatif adalah relasi antarelemen yang bersifat saling melengkapi. Dalam relasi itu, masing-masing elemen memiliki kedudukan yang otonom dalam membentuk teks. Dalam jenis ini tidak ada elemen atasan dan bawahan.
Hakikat Wacana Lisan
Richards (1983) mengemukakan bahwa:
…konsep koherensi yang diterapkan dalam wacana bercakap-cakap sangat berbeda dengan cara koherensi yang diciptakan dalam wacana tulis. Wacana tulisan direncanakan, diatur ketat, dan biasanya merupakan produk satu orang. Wacana lisan tidak direncanakan sebelumnya, tetapi diproduksi dalam waktu sinambung dengan saling kerja sama. Oleh karena itu, wacana lisan menyajikan makna dengan cara sama sekali berbeda dengan wacana tulisan. Topik dikembangkan secara berangsur-angsur, dan konvensi pengembangan topik dan perubahan topik adalah distingtif terhadap laras bahasa lisan. Para pendengar dapat menggunakan isyarat seperti ‘berbicara tentang itu, mengingatkan Anda pada… ngomong-ngomong, sejah hal itu’ untuk menunjukkan arah pengembangan topik.”
(Nunan, 1992:78)
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa hakikat wacana lisan sifatnya hanya sesaat dan biasanya interaktif, pembicara lebih banyak berasumsi tentang keadaan pengetahuan mutakhir pendengar daripada penulis terhadap pembaca. Karena itu, pengetahuan skematis sangat penting. Dalam usaha memahami wacana lisan, baik monolog (seperti mendengarkan berita radio) maupun dialog (semisal mendengar percakapan antara pentur asli), pendengar harus menafsirkan dan mengintegrasikan bahasa pada tingkat proposisional dan ilokasi.
Hakikat Wacana Tulis
Mengutip Smith (1978), Nuna menyebutkan pengalaman sangat penting dalam pemahaman lingusitik. Hal ini karena linguistik memiliki hubungan tekstual yang ditunjukkan oleh referensi, elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal.1 Sebuah komponen penting dalam pelajaran pemrosesan wacana adalah membantu pembelajar untuk mengembangkan keterampilan dalam mengenali hubungan-hubungan ini. Selain penting bagi pembelajar untuk membangun suatu kosa kata yang ekstensif dalam medan makna yang dimarkahi oleh kohesi leksikal, juga penting untuk mengembangkan keterampilan memanfaatkan informasi kontekstual untuk memahami kosa kata yang tidak diketahui.
Selain itu, perlu juga dikembangkan keterampilan yang lebih sulit untuk mengenali daya retorik informasi tekstual yang tidak dimarkahi secara eksplisit dengan beberapa bentuk konjungsi. Akhrinya, pembaca seharusnya mampu mendemonstrasikan penguasaan terhadap isi tekstual dengan beralih ke balik teks itu.
———————-
1Bagian ini akan dijelaskan pada lain kesempatan.
ANALISIS
Analisis wacana menginterprestasi makna sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran. Konteks meliputi konteks linguistik dan konteks etnografii. Konteks linguistik berupa rangkaian kata-kata yang mendahului atau yang mengikuti, sedangkan konteks etnografi berbentuk serangkaian ciri faktor etnografi yang melingkupinya, misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa (Massofa, 2008).
Dalam analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi berdasarkan konteks, baik konteks linguistik atau koteks maupun konteks nonlinguistik. Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan. Selanjutnya, prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai. Dengan interpretasi analogi itu, analis sudah dapat memahami wacana dengan konteks yang relevan saja. Hal itu berarti bahwa analis tidak harus memperhitungkan semua konteks wancana.
Pemahaman Wacanan Lisan dan Tulis
Mengembangkan pemahaman atau pengertian yang baik pada sebuah wacana sebenarnya sama saja dengan mengembangkan pemikiran yang baik. Tak seorang pun dapat mengajarkan bagaimana caranya meningkatkan pemikiran hanya dalam tempo semalam. Namun demikian, ada langkah-langkah yang dapat dijalankan guna membantu bagaimana meningkatkan kemampuan membaca (memahami teks dan nonteks) jauh lebih cepat dari yang dibayangkan.
Proses pemahaman wacana adalah proses menemukan konfigurasi skemata yang menawarkan uraian yang memadai tentang bacaan yang bersangkutan (Alwi, dkk., 1998:450). Hal ini berkaitan tentang pemahaman wacana tulis. Ada beberapa penyebab kegagalan pemahaman wacana bacaaan meskipun penulis telah berusaha menulis dengan baik dan pembaca telah berusaha membaca dengan baik pula.
Pembaca mungkin tidak mempunyai skemata yang sesuai. Dalam hal ini, pembaca memang tidak dapat memahami konsep yang disampaikan penulis. Di sisi lain, meskipun pembaca memiliki sekmata, tetapi petunjuk-petunjuk yang disajikan oleh penulis mungkin tidak cukup memberi saran tentang skemata tersebut. Hal ini berarti bahwa pembaca tidak akan memahmi wacana. Namun, dengan petunjuk tambahan yang sesuai, mungkin ia dapat memahami bacaan dimaksud.
Kendati pembaca mungkin mendapat penafsir wacana secara tetap, tetapi mungkin tidak menemukan apa yang diinginkan oleh penulisnya. Artinya, pembaca mungkin memahami teks, hanya saja pemahaman dia kemungkinan berbeda dengan maksud yang hendak disampaikan oleh penulis teks.
Adapun yang dimaksud dengan skemata adalah pengetahuan yang terkemas secara sistematis dalam ingatan manusia. Skemata itu memiliki struktur pengendalian, yakni cara pengaktifan skemata sesuai dengan kebutuhan. Ada dua cara yang disebut pengaktifan dalam struktur itu, yakni (1) cara pengaktifan dari atas ke bawah dan (2) cara pengaktifan dari bawah ke atas. Pengaktifan atas ke bawah adalah proses pengendalian skemata dari konsep ke data atau dari keutuhan ke bagian. Pengaktifan bawah ke atas adalah proses pengendalian skemata dari data ke konsep atau dari bagian ke keutuhan.
Langkah pertama di dalam mengembangkan pemahaman ialah dengan mempraktikkan menemukan apa subjek atau pokok pikiran dari suatu paragraf. Manfaatkan waktu Anda memahami hal ini, tanpa harus berpikir lagi. Namun, perlu praktik melakukannya sehingga Anda dapat melakukannya ketika berjumpa dengan teks atau wacana yang sulit.
Berikut ini adalah latihan sederhana sebagai salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan.
LATIHAN
Bahan: kertas, pensil
Tujuan: Belajar mengidentifikasi makna isi suatu paragraf.
1. Baca setiap paragraf di bawah ini secepat yang Anda dapat, dengan tangan Anda dan cari jawaban paragraf gagasan pokoknya tentang apa.
2. Dalam wacana ini, butir dari “A” hingga “F”. Sesudah membaca sebuah kalimat dalam paragraf sebanyak satu kali, kembali lagi, dan dalam kertas Anda tulis paragraf itu mengenai apa dalam beberapa kata saja.
CATATAN: Penting untuk membaca setiap wacana hanya sekali! Hindari untuk mengulanginya.
A. Semua pohon berwarna hijau.
B. Banyak burung terbang ke arah selatan di musim dingin.
C. Herman membersihkan halaman, Safriandi yang menyuruh.
D. Syahriandi suka main sepak bola. Ia ingin suatu saat menjadi pemain professional.
E. Syaid Saifullah adalah penulis terkenal dari Gemasastrin pada era 80-an. Ia seorang Islam yang taat.
F. Mitoha merupakan seorang guru SMP. Ia masih muda, manis, berambut hitam pendek, dan memiliki psotur tubuh ideal. Nama aslinya tidak biasa disebut orang karena ia menggunakan nama kecil, yakni Neng Geulis.
LIHAT!
1. Apakah Anda memperhatikan bahwa pokok atau subjek setiap wacana selalu berada pada kalimat pertama? Ini teori umum pada semua tulisan. Kenyataannya, hampir 95% dari semua paragraf, topik dipresentasikan pada kalimat pertama. Itu sebabnya, mengapa kalimat ini kerap disebut sebagai kalimat topik.
Perintah itu semua coba Anda kerjakan dan dilakukan secepat mungkin. Oleh karena dalam hampir setiap kasus topik terdapat pada kalimat pertama, bacalah kalimat pertama dengan sangat hati-hati apa yang dibahas dalam wacana dimaksud. Jika Anda menemukannya, sebenarnya Anda sudah menemukan tujuan yang telah saya berikan. Namun, selalu ada kesempatan, bahkan ini mungkin hal yang sangat mudah (mungkin kurang dari lima persen), bahwa topik yang sesungguhnya diberikan di mana saja dalam wacana itu. Dengan demikian, Anda dapat meneruskan membaca agar dapat melihat bahwa segala sesuatu terkait dengan topik yang sudah Anda baca. Kini tentu Anda dapat mulai lebih cepat lagi dari yang sebelumnya.
Jodoh
Sejuknya hawa perbukitan, panorama dua gunung yang saling berhadapan, jalan raya di depan kampungku, toko-toko keripik dan kerupuk yang berjajar di tepi jalan, gapura putih di muka kampungku, semua tampak sama. Hanya bedanya barangkali, mobil-mobil di jalan jadi lebih banyak. Seolah-olah semua orang pulang kampung secara bersamaan. Aku melangkah masuk ke jalan kampungku. Orang mencuci pakaian di tabek, orang buang air di tandai, orang menjemur gabah di jalan kampung yang tak seberapa lebar, sungguh pemandangan yang lama tak kujumpai. Perlahan kulayangkan ingatanku kepada masa-masa terdahulu, waktu bersuka ria bermain bersama kawan-kawan sebaya yang kini telah entah di mana adanya.
Lamunanku dibuyarkan oleh tepukan seseorang di pundakku. Kupalingkan wajahku ke belakang. Tampaklah seorang wanita usia empat puluhan awal, yang kukenali sebagai Tek Sima, penjual ketupat sayur yang dagangannya menjadi sarapanku selama bertahun-tahun di sini. Kukira ia baru saja datang dari pasar.
“Hai Jang!” serunya. “Benar ini si Ujang kan?”
Aku tersenyum. Sudah lama benar aku tidak mendengar panggilan itu. Orang-orang kampung sini biasa memanggilku si Ujang saja, tanpa peduli nama benarku bukanlah itu. “Iya benar, Tek,” jawabku.
“Kapan tiba, Jang? Sudah lama benar tidak jumpa.”
“Baru saja.”
“Oh begitu. Singgahlah sebentar, Jang.”
“Biarlah, Tek. Saya lihat rumah dulu.”
Kutinggalkan Tek Sima, kupercepat langkahku menuju rumah orang tuaku. Nanti-nanti sajalah aku berkunjung ke rumahnya, toh rumahnya dekat saja dengan rumah orang tuaku.
*
Di rumah, kujumpai ibuku tengah memasak. Ibu selalu sibuk memasak, seolah tiada habisnya yang dimasaknya itu. Bapak sedang mengurus bengkel angkotnya yang terletak sedikit di luar batas kota. Mereka tinggal berdua saja di rumah ini. Kakakku yang perempuan sudah menikah dan kini bekerja di luar kota. Adikku yang lelaki sedang kuliah di Jawa pula. Keduanya tahun ini tidak ada yang pulang, karena sibuk oleh urusan masing-masing. Memang begitulah kalau orang sudah merantau.
Sore harinya, Tek Sima bertandang ke rumahku. Banyak benar ceritanya, mulai dari usaha bengkel suaminya yang merugi, soal sawahnya yang hendak dijual karena dipandang tidak menguntungkan, soal beratnya biaya hidup, dan sebagainya. Dibawanya serta anak-anaknya, ada lima orang rupanya. Semuanya lebih muda daripadaku. Yang tertua laki-laki, Deni namanya, kini kerja serabutan di mana-mana sekaligus mengurusi sawah di kampung. Adiknya perempuan, Feli namanya, kini masih kelas dua SMA. Ada lagi adiknya tiga orang, masih SMP, SD, dan yang bungsu belum lagi sekolah. Seingatku saat aku berangkat ke rantau, anak Tek Sima ini baru tiga orang. Rupanya beranak pinak saja kerja orang ini, pikirku.
Besok malamnya, kami sekeluarga diundang makan di rumah Tek Sima. Besok malamnya lagi, kami makan di tempat tetangga atau keluarga yang lain lagi. Memang begitulah yang telah menjadi kebiasaan di kami. Dalam tiap-tiap kunjungan, selalu saja orang-orang menanyakan di manakah gerangan istriku, tidakkah dibawa serta ke kampung. Kukatakan terus terang bahwa istriku belum lagi ada. Orang-orang menggelengkan kepala. Mungkin merasa aneh jika orang seusiaku belum beristri pula.
Sekali waktu saat di rumah, Ibu bertanya kepadaku. “Jang, apa kerja Ujang kini?”
“Konsultan, Bu,” jawabku singkat.
“Apa itu?”
“Ya konsultan. Orang yang memberikan konsultasi, nasihat, memecahkan masalah orang. Tapi khusus di bidang teknik.”
“Terserahmu lah. Tapi sudah dirasa mantap benar dengan pekerjaanmu itu?”
“Ya sementara begitulah, Bu.”
“Ah kalau begitu cari-carilah calon istri, Jang. Sudah patut pula, Jang. Atau sudah ada?”
“Belum lagi.”
“Ah masa belum lagi? Tak mungkin itu. Ibu tahu benar kau pasti sudah ada. Iya, Jang?”
“Secara resmi belum ada, Bu.”
“Iyalah, resmi itu nanti kalau kalian sudah kawin. Maksud Ibu calon. Masa tidak ada?”
“Calon sih ada. Tapi entah apa pihak sana juga menganggap saya sebagai calonnya.”
“Oih, macam-macam saja kamu ini. Siapa Jang, orang mana?”
Didesak terus, aku terpaksa buka mulut. Padahal tadinya sama sekali tak ada niat untuk bercerita soal-soal begini kepada Ibu apalagi Bapak. “Ada lah, Bu. Jangan bilang ke siapa-siapa dulu. Orang kita juga. Tapi dari daerah Anu,” kataku sambil menyebut nama suatu tempat sekitar 40 kilometer dari kampungku.
“Oh begitu! Cepat-cepatlah kamu resmikan kalau begitu, supaya agak berhenti sedikit nyinyir mulut orang-orang bertanya ke Ibu tentangmu itu.”
“Sedang diusahakan, Bu. Tapi lihat nanti-nanti saja lah,” jawabku sekenanya.
“Kamu ini dari dulu selalu begitu,” timpal Ibu sambil tersenyum. “Jang, Tek Sima sudah bertanya-tanya tuh, kalau sekiranya Ujang belum bercalon, mau pula dia menjodohkanmu dengan anaknya.”
“Siapa? Si Feli?”
“Si Feli,” Ibu mengiyakan.
Ini sudah kuduga. Aku sudah membaca baik dari tutur kata dan sindir Tek Sima saat berkunjung ke rumah, maupun saat kami sekeluarga yang datang ke rumahnya. Keluarga kami memang berkawan dekat sejak dulu dengan keluarga Tek Sima, dan masih ada pertalian saudara pula dengan ayahku. Si Feli bukannya tidak cantik, tapi bukan itu semata pertimbanganku. Yang lebih utama adalah, anak itu lulus SMA pun belum, tak ada pula tanda-tanda bakal melanjutkan ke bangku kuliah setelah lulus nanti, tahu apa dia tentang asam garam kehidupan. Lagipula masih ada calon yang kuceritakan pada Ibu tadi.
“Tak usah terlampau dipikirkan, Jang,” Ibu seolah dapat membaca pikirku. “Itu kan hanya buah bibir orang kampung belaka. Tentukan sendiri mana yang baik bagi Ujang.”
Perkataan Ibu sedikit menenangkan hatiku. Tak pernah lagi kupikirkan perkara tersebut, sampai pada malam terakhir sebelum aku bertolak kembali ke rantau, di mana Bapak dan aku sedang menonton televisi yang hanya mampu menampilkan tiga saluran, karena rusaknya antena parabola di rumah kami.
Setelah berbincang ke sana kemari, tiba-tiba Bapak berkata, “Jang, coba dengarkan Bapak agak sebentar. Jarang-jarang benar ‘kan Bapak memberi nasihat.”
“Apa itu Pak?” tanyaku agak heran.
“Tentang jodoh. Pasangan hidup.”
Aku langsung menyempurnakan sikap dudukku.
"Sudah waktunya kamu mulai mencari. Bapak tahu kamu lama tinggal di rantau. Bapak tidak bisa mengatur-atur. Siapa pun pilihanmu, Bapak terima saja. Asalkan seiman. Suku bangsa pun boleh apa saja, terserah.”
“Tapi ada tapinya, sedikit saja kalau boleh,” lanjut Bapak. “Kalaupun kamu tertarik dengan gadis dari daerah kita pula, carilah yang kampungnya dekat-dekat kampung kita. Semakin dekat sini semakin bagus. Jangan cari orang daerah Anu.”
Aku terkesiap. “Memangnya kenapa Pak?”
“Jangan. Perilakunya banyak yang kurang baik. Bapak tahu beberapa orang asal sana yang tindak tanduknya kurang baik. Sebaiknya janganlah.”
Sebenarnya aku ingin protes. Bapak terlalu menggeneralisir, menyamarata-kan semua orang. Padahal itu hanya stereotip yang belum tentu tepat. Tapi aku diam saja, aku sedang tak ingin berdebat. Sampai meninggalkan kampung keesokan harinya, aku tak lagi mempertanyakannya, pun Ibu dan Bapak tidak menyinggung lagi soal tersebut. Tapi kukira, dan aku hampir yakin, Ibu telah bercerita kepada Bapak tentang hal ihwal calonku yang orang Anu itu.
*
Tak lama berselang, aku telah berpindah kerja ke perusahaan lain yang lebih besar. Aku semakin sibuk, pekerjaan semakin banyak. Acapkali harus berdinas ke berbagai daerah di Indonesia, bahkan sampai beberapa kali harus ke luar negeri. Karena itu pula bagiku begitu sulit menemukan waktu untuk kembali pulang kampung. Memang begitulah adanya, waktu adalah uang, tapi uang tak selalu bisa membeli waktu. Sampai pada tahun ketiga sejak kepulanganku yang terakhir, akhirnya aku dapat pulang beberapa hari menjelang hari raya, sampai kira-kira sepekan sesudahnya.
Setibanya di kampung, orang pertama yang kutemui di jalan adalah, secara kebetulan, si Feli. Tampak di mataku bahwa gadis ini semakin cantik dan menarik, juga lebih dewasa.
Basa-basi aku bertanya, “Ke mana, Fel?”
“Ke pasar, Da,” jawabnya singkat.
“Oo. Di mana kerja Feli sekarang?”
“Sedang kuliah, Da,” jawabnya sambil menyebutkan nama suatu universitas negeri di propinsi kami.
“Baguslah itu,” timpalku sambil mengangguk-angguk. Aku senang jika anak-anak muda di kampungku ini berpikiran maju, berkegiatan yang produktif, supaya ikut maju pulalah seisi kampung ini.
Aku meneruskan jalan ke arah rumahku. Sambil berjalan, mulailah aku berpikir ke mana-mana. Si Feli makin cantik kini, sudah berkuliah pula. Kalau tiga tahun lalu dia masih kelas dua SMA, berarti sekarang umurnya kira-kira dua puluh. Sudah mulai dewasa, pikirku. Aku sendiri belum juga beristri, alasan yang paling sering kukemukakan ialah sibuknya pekerjaanku kini. Entah apakah orang-orang rumahku bisa percaya dengan alasan semacam itu. Selama di rantau tiga tahun terakhir, sedikit sekali, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali, waktuku untuk memikirkan hal-hal jodoh itu. Tapi pulang ke kampung dalam keadaan belum beristri pula, mau tak mau mengingatkanku kembali. Sudah waktunya, kata Ibu dan Bapak tiga tahun silam. Saat ini, kataku pun demikian. Dan kalau masih boleh, hendak kupenuhi keinginan Tek Sima dulu. Supaya hangat hatinya, hati Ibu dan Bapak, hatiku juga.
Esoknya, selepas sahur, ketika Bapak sedang ke belakang, tinggallah aku berdua dengan Ibu di meja makan. Ibu lekas bertanya, ”Jang, kamu masih sendiri juga. Memang ke mana calonmu yang orang Anu itu?”
Aku tersenyum kecut. “Lupakanlah, Bu. Dia sudah kawin pula dengan orang lain.”
“Oh ya? Kok bisa? Dengan siapa pula? Kenapa tidak denganmu?”
“Bisa saja. Dengan kawan sekantornya. Mungkin kami memang tidak jodoh.”
“Ah masa? Kamu saja mungkin yang kurang pandai mengambil hatinya.”
“Mungkin,” jawabku. “Saya tiba di waktu yang tak tepat, Bu. Saya terlambat untuk mulai mengenali pribadinya lebih jauh, tapi terlalu pagi untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Dan ketika waktu yang tepat telah tiba, saya tidak ada di sana. Saya gagal. Itulah, barangkali kami tak sejodoh.”
Ibu mau menimpali lagi, tapi azan subuh telah berkumandang. Aku bergegas mengambil air wudhu, kemudian pergi ke surau. Di surau aku bertemu dengan Deni, anak Tek Sima yang sulung. Selepas sembahyang subuh, kuajak ia mengobrol di pelataran surau.
Setelah berbasa-basi, kutanyakan juga padanya, “Dengar-dengar si Feli kini kuliah?”
“Iya, Da. Di Fakultas Sastra,” jelas Deni membenarkan pernyataan adiknya padaku kemarin.
“Baguslah. Anak gadis harus pula sekolah tinggi-tinggi, jangan cepat-cepat dikawinkan saja. Supaya maju pemikiran kita.”
“Loh, Uda belum tahu rupanya?” Deni agak terkejut.
Aku balik terkejut. “Tahu apa?”
“Si Feli sudah kawin pula.”
“Ha? Masa? Dengan siapa?”
“Dengan Rafli, anaknya Tuan Gafur.” Disebutnya nama salah seorang kerabat kami yang kaya raya. Setahuku kerabatku ini tidak tinggal di kampung kami, melainkan di kota. Dan si Rafli ini, tak jelas pula pekerjaannya.
“Kenapa begitu, Den?” aku masih terbengong-bengong.
“Itulah, Da. Kerja saya tak seberapa, bengkel Papa kini telah tutup juga. Adik-adik semuanya perlu sekolah. Sementara itu Mama perlu modal pembuka kios di pasar. Kami banyak utang, utamanya ke Tuan Gafur.”
“Hah? Jadi..?”
“Yah, sawah Mama dijual ke Tuan Gafur. Dan si Feli... si Feli dinikahkan dengan anaknya,” tutur si Deni dengan pelan.
“Lantas... kuliahnya?”
“Justru kuliahnya itu dibayari oleh Tuan Gafur. Begitu pula uang sekolah adik-adik. Sekarang Feli sudah hamil tiga bulan.”
Aku terdiam. Habis sudah semua kata-kata. Sepenuhnya benar bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan! *
---
Puisi Putih
Kau dan aku tak satupun yang tau…..
Tahunpun berikan jawaban yang semu…..
Kau dan aku tak satupun yang tau…..
Jadi tak selalu simpulanmu itu
Sesungguhnya manusia hanya manusia….
Saling mengerti adalah kunci segalanya…..
Tepat seperti yang kukira….
Terombang-ambing kau ditelan waktu…..
Sembelih perasaan bukan jawaban…..
Rasakan energi tenangkan jiwamu…..
Jika wajahku ini hatiku….
Tak mungkin sanggup kau tahan malumu….
Tak mungkin sanggup kau tahan harumu….
Dan tak mungkin sanggup kau mengimbanginya….
Karma kau tau begitu cintanya aku….
Aku mencintaimu dengan sederhana….
Seperti cinta api pada kayu….
Yang tak sempat terungkapkan….
Karma menjadikannya abu….
Tutup matamu….
Bisukan bibirmu….
Tanya pada hati kecilmu….
Adakah cinta sejati untukku….
Jika ada….
Tersenyumlah bidadariku…..
By: SULTAN
recha_insane
